search

Minggu, 04 Oktober 2009

Kimiawan Muslim Pengembang Teknik Distilasi

Jabir Ibnu Hayyan
Sejatinya, ilmuwan kebanggaan umat Islam itu bernama lengkap Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan. Asal-usul kesukuan Jabir memang tak terungkap secara jelas. Satu versi menyebutkan, Jabir adalah seorang Arab. Namun, versi lain menyebutkan, ahli kimia tersohor itu adalah orang Persia. Kebanyakan literatur menulis bahwa Jabir terlahir di Tus, Khurasan, Iran pada 721 M.

Saat terlahir, wilayah Iran berada dalam kekuasaan Dinasti Umayyah. Sang ayah bernama Hayyan al-Azdi, seorang ahli farmasi berasal dari suku Arab Azd. Pada era kekuasaan Daulah Umayyah, sang ayah hijrah dari Yaman ke Kufah, salah satu kota pusat gerakan Syiah di Irak. Sang ayah merupakan pendukung Abbasiyah yang turut menggulingkan Dinasti Umayyah.

Ahli kimia Muslim terkemuka di era kekhalifahan yang dikenal di dunia Barat dengan panggilan Geber itu memang sangat fenomenal. Betapa tidak, 10 abad sebelum ahli kimia Barat bernama John Dalton (1766-1844) mencetuskan teori molekul kimia, Jabir Ibnu Hayyan (721M - 815 M) telah menemukannya pada abad ke-8 M.

Hebatnya lagi, penemuan dan eksperimennya yang telah berumur 13 abad itu ternyata hingga kini masih tetap dijadi kan rujukan. Dedikasinya dalam pe ngembangan ilmu kimia sungguh tak ter nilai harganya. Tak heran, jika ilmuwan yang juga ahli farmasi itu dinobatkan sebagai renaissance man (manusia yang mencerahkan).

Tanpa kontribusinya, boleh jadi ilmu kimia tak berkembang pesat seperti saat ini. Ilmu pengetahuan modern sungguh telah berutang budi kepada Jabir yang dikenal sebagai seorang sufi itu. Jabir telah menorehkan sederet kar yanya dalam 200 kitab. Sebanyak 80 ki tab yang ditulisnya itu mengkaji dan mengupas seluk-beluk ilmu kimia. Se buah pencapaian yang terbilang amat prestisius.

Al-Kindi
Ilmuwan kelahiran Kufah, 185 H/801 M itu bernama lengkap Abu Yusuf Yaqub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Ia berasal dari sebuah keluarga pejabat. Keluarganya berasal dari suku Kindah—salah satu suku Arab yang besar di Yaman sebelum Islam datang. Nenek moyangnya kemudian hijrah ke Kufah.

Ayahnya bernama Ibnu As-Sabah. Sang ayah pernah menduduki jabatan gubernur Kufah pada era kepemimpinan al-Mahdi (775-785) dan Harun al-Rasyid (786-809). Kakeknya, Asy’ats bin Qais kakeknya al-Kindi dikenal sebagah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila ditelusuri nasabnya, al-Kindi merupakan keturunan Ya’rib bin Qathan, raja di wilayah Qindah.

Pendidikan dasar ditempuh al-Kindi di tanah kelahirannya. Kemudian, dia melanjutkan dan menamatkan pendidikan di Baghdad. Sejak belia, dia sudah dikenal berotak encer. Tiga bahasa penting dikuasainya, yakni Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang pada era itu.

Al-Kindi hidup pada era kejayaan Islam Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya, yakni al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tasim, al-Wasiq (842-847), dan Mutawakil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.

Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah (House of Wisdom) yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah al-Ma’mun tutup usia dan digantikan putranya, al-Mu’tasim, posisi al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi putranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar